Laporan dugaan pencatutan KTP dihentikan polisi
Sementara itu, Dirreskrimsus Polda Metro Jaya, Kombes Polisi Ade Safri Simanjuntak, mengatakan laporan warga bernama kunjungi Samson, 45 tahun, ihwal pencatutan KTP untuk mendukung Dharma Pongrekun-Kun Wardana dihentikan setelah dilakukan gelar perkara.
Menurut Ade, satu-satunya lembaga yang berwenang menerima laporan pelanggaran pemilihan adalah Badan Pengawas Pemilu.
“Sedangkan Polri adalah lembaga yang menerima penerusan laporan dari Badan Pengawas Pemilu,” kata Ade Safri seperti dilansir kantor berita Antara pada Senin (19/08).
Ade menyarankan pelapor mengadukan laporannya ke Bawaslu sesuai mekanisme yang berlaku.
Sebelumnya, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menyatakan telah menerima lebih dari 500 aduan warga yang data pribadinya dicatut untuk mendukung pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana sebagai calon independen di pilkada Jakarta. Dari angka tersebut, 377 di antaranya telah diverifikasi.
Ketua PBHI, Julius Ibrani, menilai ada setumpuk pelanggaran pidana dalam kasus ini.
Karena itu, pihaknya berencana melaporkan kasus ini, tak hanya ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), tapi juga ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
“Kalau [kasus di Jakarta] saja lolos, didiamkan, maka seluruh Indonesia akan direkayasa seperti ini,” kata Julius.
Bawaslu DKI Jakarta menyatakan akan menindak tegas jika ditemukan pencatutan KTP warga untuk mendukung pasangan Dharma-Kun.
“Jika ditemukan pelanggaran, kami pastikan akan menindak tegas aktor-aktor yang terlibat dalam persoalan ini,” kata Benny Sabdo, koordinator divisi penanganan pelanggaran Bawaslu DKI Jakarta.
Sementara itu, Dharma menyatakan proses pengumpulan data pendukungnya dibantu oleh relawan, sehingga ia dan pasangannya Kun tidak terlibat langsung.
“Data pendukung inilah yang kemudian diperiksa oleh KPU. Itu sebabnya, buat yang memang bukan pendukung kami akan tersaring dengan sendirinya,” ujar Dharma.
“Kami niatnya melayani. Jadi, bisa sampai tahap ini juga kami sudah sangat bersyukur.”
Bagaimana kasus ini bermula?
Pada Kamis malam (15/8), KPU DKI Jakarta mengumumkan bahwa pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana lolos sebagai bakal calon gubernur dan wakil gubernur dari jalur independen untuk pilkada Jakarta yang akan berlangsung 27 November 2024.
Hasil verifikasi faktual KPU DKI Jakarta menunjukkan pasangan itu berhasil mengumpulkan dukungan 677.468 warga Jakarta.
Sebagai catatan, untuk mendaftar sebagai calon independen di pilkada Jakarta, pasangan calon harus meraih dukungan minimal 7,5% warga Jakarta yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Karena jumlah warga Jakarta di DPT mencapai sekitar 8,25 juta jiwa, pasangan calon mesti mengamankan setidaknya 618.968 dukungan.
Di hari pengumuman KPU tersebut, akun @ayamdreampop mengunggah cuitan di media sosial X pada pukul 23.26 WIB. Di situ, ia mengatakan nomor induk kependudukan atau NIK-nya telah “dicatut” tanpa sepengetahuannya untuk mendukung pasangan Dharma-Kun mengikuti pilkada Jakarta.
Ia lantas menyarankan agar warganet lain mengecek apakah NIK-nya juga dicatut dan terdaftar sebagai pendukung bakal calon kepala daerah independen di situs web Info Pemilu yang dikelola KPU.
Dari sana, satu per satu pengguna X lain mulai melaporkan bahwa datanya juga dicatut untuk mendukung Dharma-Kun.
Aulia Postiera, eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini menjabat anggota Satuan Tugas Khusus Pencegahan Korupsi Polri, mulanya tak tahu apa-apa soal ini.
Jumat subuh (16/8), Aulia bangun dan melaksanakan salat. Setelahnya, ia iseng membuka X. Saat itulah ia baru menyimak keramaian soal pencatutan NIK.
Ia buka situs web Info Pemilu dan memasukkan NIK-nya. Kaget, ia menemukan namanya terdaftar sebagai pendukung Dharma-Kun.
“Saya enggak kenal sama sekali [Dharma-Kun],” kata Aulia kepada BBC News Indonesia.
“Kalau nama Dharma Pongrekun itu memang beberapa kali saya lihat video-videonya muncul di media sosial. Cuma saya enggak kenal ini orang siapa. Enggak ada interest juga [untuk mencari tahu].”
Aulia meradang. Apalagi, belum lama ini ia ikut mendirikan LSM Cyberity, yang fokus pada isu keamanan siber, perlindungan data pribadi, misinformasi, dan sebagainya.
“Saya sering mengajar bagaimana melindungi data pribadi dan segala macam. Eh, ini saya jadi korban,” kata Aulia, yang sejak Maret 2024 bahkan telah pindah domisili ke luar Jakarta.
Belum lagi, sebagai anggota Satuan Tugas Khusus Pencegahan Korupsi Polri, Aulia berstatus aparatur sipil negara (ASN) yang dilarang menunjukkan dukungan politik saat pilkada 2024.
“Dengan kondisi sekarang, saya bisa saja dilaporkan pelanggaran etik, karena ASN harus netral,” katanya.
Aulia lantas merilis klarifikasi di media sosial X dan LinkedIn bahwa data pribadinya digunakan tanpa izin untuk mendukung pasangan Dharma-Kun.
Sepanjang Jumat (16/8), semakin banyak orang yang melaporkan kasus serupa.
Ada yang bilang data adik dan ibunya ikut kena catut. Bahkan, ada yang mengatakan data neneknya yang telah meninggal juga tercatat jadi pendukung Dharma-Kun.
Tak hanya warga biasa, beberapa tokoh publik dan/atau anggota keluarganya juga jadi korban, termasuk mantan gubernur Jakarta, Anies Baswedan.